loading…
Mengapa Harus Demo?
Gelombang demonstrasi yang terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia pada akhir Agustus 2025 telah menciptakan riak yang dalam di masyarakat. Peristiwa ini tidak hanya sekedar aksi unjuk rasa; melainkan merupakan cerminan dari kemarahan dan kekecewaan rakyat Indonesia terhadap perilaku wakil mereka yang kini menduduki kursi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak pengamat sosial dan mantan politisi, seperti seorang mantan Wakil Presiden RI, menilai bahwa tindakan ini adalah respon terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak sejalan dengan keinginan dan kebutuhan publik.
Apa yang mendorong rakyat untuk turun ke jalan? Kenaikan anggaran gaji dan tunjangan bagi anggota DPR saat banyak rakyat merasakan ketidakpastian ekonomi menjadi isu yang sangat sensitif. Ironisnya, di tengah menggelindingnya masalah sosial yang serius, para wakil rakyat ini seakan tidak menyadari krisis yang dialami masyarakat. Dalam kondisi di mana upah rendah menjadi masalah umum—menyebabkan banyak PHK dan kesulitan mencari pekerjaan—kenapa mereka harus menikmati tunjangan yang berlimpah? Ini adalah ketimpangan sosial yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Krisis Sosial dan Respons Rakyat
Pendapat para pengamat yang melihat rasa ketidakpuasan yang meluap-luap ini memberikan gambaran nyata. Masyarakat sudah mulai kritis, mengamati dan mengevaluasi kinerja wakil mereka. Ketidakpuasan ini terwujud melalui aksi unjuk rasa yang menjadi semakin massif. Rakyat berhak menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap tindakan yang dianggap tidak adil, terutama ketika mereka merasa diabaikan. Hal ini terlihat jelas dari berbagai media sosial yang menjadi platform kaum muda untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi.
Namun, hal yang lebih mengecewakan adalah respon yang muncul dari beberapa oknum anggota DPR ketika mereka dihadapkan pada kritik dan tuntutan masyarakat. Auau, sebaliknya, respon yang ditunjukkan malah bersikap arogan, dengan ungkapan yang sinis; bahkan terlihat memperlihatkan sikap tidak peduli dengan kondisi yang dihadapi rakyat. Mereka seakan-akan tidak memiliki empati terhadap rakyat yang menderita akibat kesulitan ekonomi. Aksi joget-joget di gedung Dewan menunjukkan kurangnya keseriusan dan rasa tanggung jawab mereka dalam menghadapi situasi sulit yang sedang melanda masyarakat.
Menariknya, munculnya aksi unjuk rasa ini dapat dipandang sebagai bentuk kesadaran politik yang semakin meningkat di kalangan masyarakat. Mereka ingin menuntut keadilan dan transparansi dari wakil yang mereka percayakan. Kenaikan gaji timbul di tengah pernyataan pemerintah tentang perlunya penghematan dan efisiensi di segala lini. Rakyat menjadi bingung dengan dua sisi yang bertentangan; sementara mereka didorong untuk hidup secara sederhana, para pejabat justru dilihat hidup dalam kemewahan. Ini adalah bentuk ketidakkonsistenan yang memperparah suasana hatinya.
Pada tanggal 25 Agustus, aksi damai yang dimulai sebagian besar oleh mahasiswa tersebut dengan cepat menyebar dan melibatkan berbagai kalangan, termasuk buruh. Suara-suara mereka menyuarakan kepentingan publik dan mencerminkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Keberanian pengemudi ojek online yang turut berpartisipasi dalam demonstrasi adalah lampu harapan bagi generasi muda. Ketika ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah tidak mendukung rakyat, itu adalah ungkapan dari keresahan yang lebih luas.
Rakyat tentu berharap agar pelajaran dari demonstrasi ini tidak hanya akan berakhir sebagai guratan sejarah tetapi juga dapat membentuk keadilan sosial di Indonesia. Terbukanya ruang bagi diskusi politik yang lebih konstruktif diharapkan mampu menumbuhkan rasa saling percaya antara pemerintah dan rakyat. Dengan adanya saling pengertian, partisipasi masyarakat dalam setiap langkah kebijakan akan dapat menciptakan kesejahteraan yang merata.