loading…
Generasi muda Korea Selatan tak lagi tertarik dengan Reunifikasi dengan Korea Utara. Foto/X/@deulkilkka22259
Pergeseran ini terjadi meskipun telah berlangsung beberapa dekade upaya pendekatan politik dan normalisasi sejak gencatan senjata tahun 1953 yang mengakhiri pertempuran aktif dalam Perang Korea.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan berakhirnya kekuasaan kolonialnya atas Korea, semenanjung Korea terbagi antara wilayah pengaruh AS dan Soviet. Dalam konteks ini, pada tahun 1948, Korea Utara mendeklarasikan kemerdekaan di bawah Kim Il-sung, sementara Korea Selatan, yang didukung oleh Washington, didirikan sebagai republik. Dalam situasi yang penuh ketegangan, Perang Korea meletus pada tahun 1950 ketika Korea Utara menginvasi Korea Selatan, menandai awal dari konflik yang berlangsung selama tiga tahun. Perang berakhir pada tahun 1953 dengan perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani di Panmunjom, namun tidak ada perjanjian damai yang menyusul, sehingga kedua Korea secara teknis masih berperang.
Pemahaman Generasi Muda Terhadap Reunifikasi
Munculnya ketidakminatan dari generasi muda Korea Selatan terhadap reunifikasi dengan Korea Utara mencerminkan perubahan pola pikir yang mendalam. Banyak di antara mereka menganggap bahwa isu reunifikasi seharusnya tidak lagi menjadi prioritas. Dalam pandangan mereka, upaya yang dilakukan selama ini lebih banyak menghadirkan masalah ketimbang solusi. Dari sisi ekonomi, mereka khawatir bahwa reunifikasi akan membebani perekonomian mereka yang tengah berkembang. Menurut survei terbaru, lebih dari 60% generasi muda percaya bahwa reunifikasi akan merugikan posisi Korea Selatan dalam perekonomian global, terlebih dengan meningkatnya biaya yang harus ditanggung.
Selain itu, komunikasi yang terbatas antara kedua Korea, dan sikap Korea Utara yang cenderung agresif, semakin membuat generasi muda merasa pesimistis. Faktor sejarah yang kerap dibicarakan di kelas-kelas sekolah pun mulai dianggap sebagai hal yang kurang relevan. Generasi muda lebih memilih untuk fokus pada isu-isu yang lebih mendesak, seperti perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial, yang secara langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka.
Strategi Menuju Perdamaian
Dalam konteks situasi ini, perkembangan politik di Korea Selatan menjadi sangat penting. Presiden Korea Selatan, yang baru menjabat, menegaskan kembali komitmennya untuk menghidupkan kembali dialog dengan Korea Utara. Dalam pidatonya, ia menyebutkan, “Jalan terkuat menuju keamanan adalah membangun bangsa yang tidak akan pernah perlu berperang — dengan membangun perdamaian.” Pernyataan ini menggugah harapan akan adanya pendekatan baru dalam hubungan kedua negara.
Namun, untuk bisa mencapai harmonisasi, diperlukan strategi yang lebih cerdas dan inklusif yang dapat menjangkau generasi muda. Keterlibatan mereka dalam dialog dan proses rekonstruksi hubungan menjadi krusial. Edukasi yang inovatif dan usaha untuk memahami perspektif mereka dapat membuka ruang bagi diskusi yang lebih konstruktif di masa depan. Misalnya, kampanye kesadaran dan dialog lintas generasi perlu difasilitasi oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk mendorong pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya reunifikasi bagi masa depan yang lebih cerah.
Dengan latar belakang yang kompleks dan tantangan yang ada, mengajak generasi muda untuk terlibat dalam dialog diharapkan dapat menumbuhkan rasa keinginan untuk memahami dan, pada akhirnya, memfasilitasi berjalannya proses reunifikasi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Menghadapi masa depan, narasi baru perlu dibangun agar generasi muda mau mengambil bagian dalam sejarah yang sedang berlangsung. Hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.