loading…
Rusia satu-satunya negara BRICS yang secara resmi mendukung penggantian dolar AS. FOTO/iStock
Pernyataan-pernyataan yang muncul dari para pemimpin BRICS seringkali hanya menjadi angin saja tanpa adanya tindakan tegas. Ini menjadi perhatian di tengah ketidakpuasan global terhadap sistem moneter yang saat ini didominasi oleh dolar AS. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: seberapa jauh komitmen BRICS untuk beralih dari dolar, dan apa implikasinya terhadap hubungan internal mereka?
Rusia: Langkah Nyata Menuju Dedolarisasi
Dari sepuluh negara anggota BRICS, ada satu suara yang cukup tegas dalam mendukung penggantian dolar AS, yaitu Rusia. Melalui kebijakan luar negeri yang proaktif, Rusia berupaya untuk mengatasi tekanan sanksi dari Barat. Ini tampak sebagai strategi untuk membuka ekonomi mereka lebih luas, sekaligus mencari alternatif yang mengurangi ketergantungan pada dolar AS demi memperkuat posisi mereka di pasar global. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Watcher Guru, rencana dedolarisasi ini tercetus sebagai respons terhadap situasi ekonomi yang tertekan akibat sanksi yang diterima.
Kondisi ekonomi Rusia yang kekurangan dukungan dari sistem dolar menjadikan negara tersebut berambisi untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih mandiri. Namun, meskipun Rusia berusaha untuk menciptakan langkah-langkah dedolarisasi, hasilnya masih jauh dari harapan. Bahkan, adanya upaya tersebut tampak lebih kepada reaksi taktis daripada kebijakan jangka panjang yang terencana. Hal ini menunjukkan bahwa transisi menuju dedolarisasi bukanlah sesuatu yang bisa langsung terjadi, tetapi memerlukan perencanaan dan konsensus yang lebih matang di antara negara-negara BRICS.
Strategi dan Tantangan dalam Aliansi BRICS
Beralih dari dolar AS bukanlah perkara mudah, bahkan bagi negara-negara yang memiliki potensi ekonomi besar seperti yang terdapat dalam BRICS. Para pemimpin dari negara-negara anggotanya perlu mengembangkan strategi perdagangan yang lebih komprehensif untuk mengintegrasikan mata uang lokal. Di samping itu, satu masalah besar yang dihadapi adalah ketergantungan pada perdagangan barang dan jasa yang saat ini masih banyak melibatkan dolar sebagai mata uang utama.
Selain itu, tindakan pemerintah AS yang semakin memperketat regulasi terhadap negara-negara yang bertransaksi dengan Rusia juga menambah tantangan. Untuk contoh, India baru-baru ini diancam dengan tarif tinggi atas perdagangan minyak jika mereka melanjutkan pembelian dari Rusia. Ini jelas menjadi dilema bagi negara-negara BRICS lainnya yang ingin menjalin hubungan perniagaan lebih erat dengan Rusia sambil tetap menjaga hubungan baik dengan AS.
Dengan situasi yang semakin rumit ini, para pemimpin BRICS mungkin harus lebih kreatif dalam menciptakan solusi. Salah satu strategi yang mungkin bisa diterapkan adalah penguatan kerja sama di dalam BRICS itu sendiri, seperti penetapan mekanisme pembayaran yang lebih fleksibel dan langsung antar negara anggota. Dengan cara ini, diharapkan tekanan yang datang dari luar bisa berkurang, memungkinkan negara-negara BRICS untuk lebih mandiri dalam hal finansial.
Secara keseluruhan, isu dedolarisasi ini mengandung banyak lapisan yang perlu dicerna lebih dalam. Pemimpin BRICS tidak hanya berhadapan dengan tantangan dalam negosiasi perdagangan, tetapi juga harus mempertimbangkan bagaimana langkah-langkah yang diambil saat ini dapat mempengaruhi hubungan mereka di masa depan. Dengan ketegangan yang semakin meningkat antara berbagai kekuatan global, langkah BRICS menuju penghematan dan pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS akan terus menjadi topik yang menarik untuk dicermati.