loading…
Bendera-bendera berkibar dengan logo UNESCO. Foto/pars today
Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengumumkan keputusan untuk menarik diri dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dengan alasan dugaan bias anti-Israel. Pengumuman ini menciptakan gelombang reaksi di sejumlah kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, mencerminkan ketegangan politik yang terjadi saat ini.
Langkah ini menggugah pertanyaan, seberapa besar pengaruh keputusan politik semacam ini terhadap hubungan internasional? Dengan penarikan ini, AS menegaskan kembali komitmennya untuk berfokus pada kepentingan nasional dan menjauh dari lembaga internasional yang dianggap bertindak bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS.
Sejarah Keterlibatan AS dalam UNESCO
Untuk memahami keputusan terkini, penting untuk melihat sejarah keterlibatan AS di UNESCO. Pada bulan Februari, Presiden Donald Trump memerintahkan Departemen Luar Negeri untuk melakukan tinjauan selama 90 hari terkait peran AS dalam program-program yang dijalankan organisasi ini. Keputusan ini merupakan bagian dari langkah yang lebih besar untuk mengurangi keterlibatan AS di lembaga-lembaga internasional, yang dianggap bisa melemahkan posisi diplomatik negara tersebut.
Sejak awal, keterlibatan AS dalam UNESCO tidak pernah bebas dari kontroversi. Misalnya, pada tahun 1984, Presiden Ronald Reagan menarik AS dari organisasi ini karena mengambil sikap yang dianggap bias terhadap negara-negara Barat. Namun, pada tahun 2002, Presiden George W. Bush memutuskan untuk kembali bergabung dengan UNESCO, mengingat pentingnya dukungan global menjelang invasi ke Irak. Siklus menarik dan bergabung kembali ini menunjukkan bagaimana dinamika politik dalam negeri berpengaruh terhadap hubungan internasional AS.
Konsekuensi Penarikan Diri dan Perkembangan Terbaru
Penarikan diri terbaru dari UNESCO membawa konsekuensi yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan keputusan ini, AS semakin menunjukkan sikap anti-multilateral, mengutamakan kepentingan nasional di atas kerjasama internasional yang lebih luas. Departemen Luar Negeri AS mengklaim bahwa UNESCO “berusaha memajukan tujuan-tujuan sosial dan budaya yang memecah belah,” serta menyebut adanya pengakuan terhadap negara Palestina sebagai langkah yang merugikan kepentingan AS.
Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, menyatakan bahwa ia merasa sedih dengan keputusan tersebut, meskipun sudah memprediksi kemungkinan ini. Ia menyoroti pentingnya peran UNESCO dalam pendidikan Holocaust dan menghadapi diskriminasi serta anti-Semitisme. Penarikan ini juga menyoroti adanya tantangan dalam diplomasi multilateral, di mana negara-negara cenderung berpaling ketika kepentingan nasional mereka terancam.
Akhirnya, langkah ini menambah lapisan kompleksitas dalam hubungan internasional, terutama di Timur Tengah. Kebijakan luar negeri AS yang lebih condong ke satu sisi bisa memicu ketegangan dan konflik lebih lanjut di kawasan tersebut, yang selama ini telah menjadi pusat perhatian dunia. Untuk menyimpulkan, penarikan AS dari UNESCO bukan hanya sekedar pergeseran kebijakan. Namun lebih dari itu, ini adalah refleksi dari mempertahankan dominasi nasional dalam menghadapi tantangan global.