loading…
Penggunaan kalender Jawa konon mulai dikembangkan di era Sultan Agung saat berkuasa di Kerajaan Mataram Islam. Foto/SindoNews
Sultan Agung, yang merupakan pengganti Pangeran Hanyakrawati, adalah raja ketiga dari Kesultanan Mataram. Nama lengkapnya adalah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrokusumo. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan berkembang pesat menjadi kekuatan besar di Pulau Jawa. Dalam konteks ini, penciptaan kalender Jawa Islam menjadi salah satu keputusan strategis yang menghubungkan masyarakat dengan identitas budaya dan agama.
Bagaimana cara kalender ini diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat saat itu? Apakah pengaruhnya masih terasa di masa kini? Menarik untuk ditelusuri lebih jauh bagaimana kalender jawa ini terbentuk dan berkembang.
Sejarah Kalender Jawa dan Asimilasi Budaya
Kalender Jawa merupakan hasil dari asimilasi antara dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu Kalender Hijriyah Islam yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan Kalender Saka yang dipakai oleh masyarakat pedalaman. Integrasi kedua sistem ini menciptakan Kalender Jawa Islam, yang menjadi simbol persatuan bagi rakyat Mataram. Kalender ini dimulai dengan bulan Suro, yang memiliki makna penting dalam tradisi Jawa.
Berdasarkan catatan sejarah, pada masa Sultan Agung, Mataram tidak hanya berkembang dari segi politik, tetapi juga dari segi budaya dan spiritual. Penggunaan Kalender Jawa ini mempermudah masyarakat dalam mengatur aktivitas sehari-hari mereka, dari kegiatan pertanian hingga perayaan keagamaan. Kalender ini tidak hanya berfungsi sebagai alat penanggalan, tetapi juga mengikat masyarakat dalam satu identitas budaya yang kuat.
Era Sultan Agung dan Resistensi terhadap Kolonialisme
Di tangan Sultan Agung, Kerajaan Mataram menjadi simbol penentangan terhadap kolonialisme. Strategi politik dan kebijakan yang diterapkan pada masa itu meningkatkan kesadaran dan solidaritas masyarakat terhadap ancaman luar. Penggunaan Kalender Jawa menjadi bagian dari filosofi perjuangan ini. Dengan menciptakan sistem yang unik, Sultan Agung memperkuat posisi kerajaan di mata rakyatnya dan menampilkan identitas yang berbeda dari kekuatan kolonial Belanda yang sedang berkembang.
Kalender Jawa ini pun tidak hanya berdampak pada aspek praktis dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi medium pembelajaran dan pengingat akan sejarah yang telah dilalui oleh masyarakat Jawa. Sebagai contoh, perayaan-perayaan yang berdasarkan kalender ini sering kali menyiratkan nilai-nilai kebudayaan serta pengajaran moral yang dapat dipetik oleh generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berganti, akar sejarah dan budaya tetap dapat terjaga dan dipelajari melalui sistem penanggalan ini.
Dalam konteks modern, masih terdapat berbagai upaya untuk melestarikan tradisi dan pengetahuan mengenai Kalender Jawa. Masyarakat kini lebih sadar akan pentingnya mengintegrasi rasa cinta terhadap budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam perayaan-perayaan yang berkaitan dengan kalender ini. Itu sebabnya, kita dapat melihat gerakan yang mendorong pengenalan kembali Kalender Jawa di berbagai komunitas sebagai bagian dari pelestarian warisan budaya.
Pengembangan Kalender Jawa bukan hanya sekadar hal teknis, tetapi juga tentang bagaimana meneruskan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah ada. Seirama dengan perkembangan zaman, masyarakat mungkin harus menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan global, namun menjaga identitas budaya melalui penanggalan ini tetap menjadi hal yang penting untuk keberlangsungan warisan sejarah.