loading…
Analisis Sosial Politik UNJ, Ubedilah Badrun menyebut 10 tahun di kepemimpinan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) menimbulkan kerusakan sistemik. Foto/SindoNews
“Saya simpulkan di kesimpulan awal, bahwa kerusakan yang terjadi selama 10 tahun itu, itu kerusakan sistemik,” kata Ubedilah dalam program Rakyat Bersuara bertajuk ‘Demo & Tudingan Makar, Siapa Bergerak’ di iNews, Rabu (10/9/2025).
Ubedilah menjelaskan, akibat kerusakan itu menimbulkan sejumlah polemik. Bahkan, kata dia, dunia internasional tidak percaya dengan pemerintahan di era Jokowi.
Kerusakan Sistemik dalam Kebijakan Publik
Analisis menunjukan bahwa kerusakan yang dialami sistem pemerintahan saat ini tidak bisa dianggap remeh. Terdapat berbagai kebijakan publik yang seharusnya membawa dampak positif malah menimbulkan masalah. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang ada menunjukkan adanya disconnect antara pemerintah dan rakyat. Hal ini terlihat dari banyaknya demonstrasi dan aksi pengungkapan pendapat yang terjadi di berbagai daerah.
Ubedilah mengungkapkan pentingnya memerhatikan konteks sosial dan ekonomi dalam membuat kebijakan. Tanpa memperhatikan aspek ini, keputusan yang diambil tidak akan efektif. Misalnya, masalah investasi yang tidak kunjung membaik, menjadi salah satu indikator bahwa pemerintah tidak berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Data menunjukkan, sejak beberapa tahun terakhir, investasi di sektor-sektor strategis mengalami stagnasi.
Indikator Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Dari analisisnya, Ubedilah menyoroti masalah kepercayaan publik dan dunia internasional terhadap pemerintahan. Kepercayaan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya memulihkan ekonomi. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, maka akan menyebabkan dampak negatif terhadap geliat investasi dan kegiatan ekonomi lainnya.
Ubedilah menyebutkan bahwa salah satu indikator yang perlu diperhatikan adalah investasi dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Dikatakannya bahwa 60% pembangunan IKN berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada dana publik, yang seharusnya bisa dibiayai dari investasi swasta.
“Indikatornya investasi stagnan, bahkan IKN dikatakan tidak akan mengganggu APBN, tidak pakai APBN karena investasi masuk. Apa yang terjadi? Justru pertama permohonan IKN itu 60 persen lebih itu dari APBN, karena tidak ada investasi, mereka cabut,” ungkapnya. Ubedilah menekankan bahwa untuk memperbaiki kondisi ini, perlu adanya integrasi antara kebijakan investasi dan pembangunan yang lebih holistik.
Menutup analisisnya, Ubedilah mengajak semua pihak untuk mengambil langkah konkret dalam memperbaiki situasi. Memperkuat kembali kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat menjadi langkah awal yang penting. Melalui dialog terbuka, transparansi, dan akuntabilitas, diharapkan dapat terbangun kembali hubungan yang harmonis serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.