loading…
Gina Fauziah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang. Foto/Dok.Pribadi
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Ketidakpuasan masyarakat terhadap komunikasi politik yang kurang efektif bisa menjadi pemicu friksi sosial yang lebih besar. Dalam pemerintahan, komunikasi yang baik di antara anggota dewan dan publik adalah kunci untuk membangun kepercayaan. Namun, ketika suara rakyat diabaikan, akan muncul berbagai protes yang mencerminkan rasa tidak puas yang mendalam.
Fakta menunjukkan bahwa komunikasi yang tidak efisien sering kali memperburuk ketegangan sosial. Berbagai kebijakan yang diambil tanpa melibatkan masukan masyarakat dapat memunculkan reaksi negatif. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para pemimpin politik saat ini. Apakah mereka mampu mendengarkan dan memahami aspirasi rakyatnya?
Komunikasi Politik: Pentingnya Keterbukaan dan Kejujuran
Pentingnya keterbukaan dalam komunikasi politik tidak bisa dianggap sepele. Dalam dunia yang serba cepat ini, informasi dapat menyebar dengan sangat cepat. Ketika seorang anggota dewan mengeluarkan pernyataan yang dianggap tidak sensitif atau meremehkan, dampaknya bisa sangat besar. Banyak masyarakat yang merasa disisihkan atau diabaikan, dan ini menciptakan ketidakpuasan yang kemudian dapat meletus menjadi aksi protes.
Statistik menunjukkan bahwa sekitar 70% dari masyarakat merasa lebih aktif dalam menyuarakan pendapat mereka melalui platform digital. Dalam hal ini, media sosial menjadi ajang bagi mereka untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan harapan mereka. Jika anggota dewan tidak peka terhadap dinamika ini, mereka akan kehilangan keterhubungan dengan konstituen yang mereka wakili. Di sinilah pentingnya membangun komunikasi yang kuat, terbuka, dan responsif.
Studi Kasus: Ketidakpuasan dan Reaksi Publik
Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah pernyataan yang dilontarkan oleh Ahmad Sahroni, anggota DPR, yang dianggap merendahkan mental publik. Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dan membuat banyak orang merasa kata-katanya justru mencerminkan ketidakpedulian anggota dewan terhadap rakyat yang diwakilinya. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa komunikasi yang buruk bisa menjadi bumerang bagi para politisi.
Sebagai penutup, penting bagi para pemimpin politik untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan. Komunikasi yang baik harus tercermin dalam tindakan nyata, tidak hanya dalam kata-kata. Dengan membangun saluran komunikasi yang efektif dan transparan, diharapkan kepercayaan publik terhadap institusi politik dapat terbangun dengan lebih baik.