loading…
Apakah menyanyikan lagu Indonesia Raya wajib membayar royalti? Pertanyaan ini mencuat di tengah perdebatan sengit mengenai hak cipta antara pencipta dan penyanyi. Lagu yang diciptakan oleh WR Supratman ini kini menjadi pusat pembicaraan dalam sidang uji materi UU Hak Cipta, membuka diskusi mengenai hak ekonomi dan moral atas lagu kebangsaan yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Isu ini muncul dalam sidang uji materi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 Agustus 2025. Hakim MK, Arief Hidayat, mencatat bahwa penerapan hak cipta yang terlalu ketat dapat menguntungkan WR Supratman secara material, menjadikannya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia.
Hak Cipta dan Fungsi Sosial Lagu Kebangsaan
Dalam konteks ini, penting untuk memahami fungsi sosial dari lagu kebangsaan dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan hak cipta. Lagu Indonesia Raya, sebagai simbol nasional, dinyanyikan di berbagai kesempatan, mulai dari acara resmi, peringatan kemerdekaan, hingga kegiatan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa lagu ini bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga merupakan bagian dari identitas dan kebanggaan nasional.
Menarik untuk dicatat bahwa ada pandangan yang menyatakan bahwa karya-karya yang sifatnya sangat publik, seperti lagu kebangsaan, seharusnya tidak hanya dianggap dari sisi ekonomis. Hak moral yang melekat pada pencipta seharusnya tidak menghalangi masyarakat untuk menyanyikan lagunya. Pencipta mungkin berhak untuk mendapatkan pengakuan atas karyanya, namun dalam konteks lagu kebangsaan, nilai sosial dan edukatif harus didahulukan.
Penerapan Hak Cipta dalam Konteks Musik
Dalam dunia musik, penerapan hak cipta sering kali menjadi perdebatan yang rumit. Terlebih lagi, dengan teknologi digital saat ini, akses ke berbagai karya seni menjadi semakin mudah. Di satu sisi, pelindungan hak cipta penting untuk menghargai pencipta. Namun, di sisi lain, pembatasan yang terlalu ketat dapat membatasi keterlibatan masyarakat dalam merayakan dan menyebarluaskan karya tersebut.
Dengan kata lain, penting untuk menemukan keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan aksesibilitas masyarakat terhadap karya seni. Dalam kasus Indonesia Raya, apakah mungkin untuk mengatur agar masyarakat dapat menyanyikannya tanpa mengabaikan hak-hak penciptanya? Sebuah pendekatan yang humanis dan berorientasi pada masyarakat mungkin bisa menjadi kunci untuk menjawab permasalahan ini.
Dalam penutup, perdebatan mengenai hak cipta dan royalti lagu kebangsaan membutuhkan perspektif yang lebih luas. Kita perlu menghargai pencipta sambil tetap mengutamakan kepentingan sosial dan kebudayaan. Solusi yang mengakomodasi kedua sisi mungkin dapat menciptakan harmoni antara pencipta dan masyarakat. Dengan demikian, kita bisa terus menjaga dan merayakan kekayaan budaya bangsa tanpa batasan yang menghalangi.